Senin, 30 Desember 2013

Stratifikasi Sosial



STRATIFIKASI SOSIAL 


BAB I
PENDAHULUAN

·         Latar Belakang
Individu sebagai makhluk sosial tentu tidak bisa dihindarkan dengan interaksi sosial beserta bentuk-bentuk interaksi sosial yang biasa berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Implikasi panjang dari sifat sosial manusia tersebut adalah ketergantungan individu kepada situasi lingkungan tempat ia tinggal, dan situasi inilah nanti yang akan memengaruhi pembentukan sebuah kelompok.
Lingkungan mencakup segala hal disekeliling kita dimana kita terkait kepadanya secara langsung atau tidak langsung yang hidup dan kegiatan kita yng berhubungan dengan dan bergantung padanya. Dan dapat juga dikatakan bahwa lingkungan adalah keseluruhan factor kakas ( force), atau keadaaan yang mempengaruhi atau berperantas hidup daqn kehidupan.
            Tentunya, gejala-gejala sosial dalam masyarakat akan menimbulkan suatu dinamika baik yang bersifat asosiatif maupun disosiatif. Lain hal, dinamika dalam sebuah masyarakat ternyata tidak terbatas pada apa-apa yang bersifat asosiatif maupun disosiatif. Ada satu hal penting dalam masyarakat yang kadangkala tidak disadari keberadaannya, yakni pembagian atau pelapisan dalam masyarakat itu sendiri. Akan tetapi keberadaan kita di tengah situasi ke-modern-an ternyata tidak bisa digunakan sebagai alasan untuk mengatakan bahwa “semua masyarakat memiliki pelapisan sosial”. Paul B. Horton dalam bukunya, Sosiologi Jilid 2, menyatakan bahwa dalam masyarakat yang paling sederhana tidak memiliki adanya pelapisan –atau lebih jamak disebut stratifikasi- sosial. Semua orang yang berusia dan berjenis kelamin sama melakukan pekerjaan yang juga kurang lebih sama. Beberapa orang bisa saja mendapatkan penghormatan karena pengaruhnya yang lebih besar ketimbang orang lain, namun tidak terdapat kelompok atau kategori orang yang menduduki jabatan yang lebih memiliki prestise atau hak-hak istimewa daripada kelompok yang lain (Horton, Paul B., Chester L. Hunt, 1999:1).

·         Landasn Teori
Definisi stratifikasi sosial adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya pembedaan dan/atau pengelompokan suatu kelompok sosial (komunitas) secara bertingkat. Misalnya: dalam komunitas tersebut ada strata tinggi, strata sedang dan strata rendah. Pembedaan dan/atau pengelompokan ini didasarkan pada adanya suatu simbol -simbol tertentu yang dianggap berharga atau bernilai — baik berharga atau bernilai secara sosial , ekonomi, politik, hukum, budaya maupun dimensi lainnya — dalam suatu kelompok sosial (komunitas). Simbol -simbol tersebut misalnya, kekayaan, pendidikan, jabatan, kesalehan dalam beragama, dan pekerjaan. Dengan kata lain, selama dalam suatu kelompok sosia l (komunitas) ada sesuatu yang dianggap berharga atau bernilai, dan dalam suatu kelompok sosial (komunitas) pasti ada sesuatu yang dianggap berharga atau bernilai, maka selama itu pula akan ada stratifikasi sosial dalam kelompok sosial (komunitas) tersebut. Secara sosiologis --jika dilacak ke belakang-- konsep stratifikasi sosial memang kalah populer dengan istilah kelas sosial, dimana istilah kelas sosial pada awalnya menurut  Ralf Dahrendorf  (1986), diperkenalkan pertama kali oleh penguasa Romawi Kuno. Pada waktu itu, istilah kelas sosial digunakan dalam konteks penggolongan masyarakat terhadap para pembayar pajak. Ketika itu ada dua masyarakat, yaitu masyarakat golongan kaya dan miskin.
Dalam studi-studi sosiologi kontemporer, istilah status sosial dikaitkan dengan istilah peran (role), di mana kedua istilah tersebut memiliki hubungan yang bersifat ko-eksistensial (Beteille,1977). Misalnya, jika ada status sosial tentu akan ada peran sosial, semakin tinggi status social semakin banyak peran sosialnya, atau semakin tinggi status sosial semakin sedikit peran sosialnya. Perbedaan secara tegas antara kelas sosial dan status sosial antara lain dikemukakan  Max Weber dengan mengaju-kan konsep tentang kelas sosial, status sosial dan partai.  Menurut Weber, kelas sosial merupakan stratifikasi sosial yang berkaitan dengan hubungan produksi dan penguasaaan kekayaan. Sedangkan status sosial merupakan manifestasi dari stratifikasi social yang berkaitan dengan prinsip yang dianut oleh komunitas dalam mengkonsumsi kekayaannya atau gaya hidupnya. Partai merupakan perkumpulan sosial yang berorientasi penggunaan kekuasaan untuk mempenga-ruhi suatu tindakan sosial tertentu.

PROSES TERBENTUKNYA
1.      Secara Tidak Sengaja:
o   terbentuk sejalan dg perkembangan masyarakat.
o   Terbentuk diluar kontrol masyarakat.
o   Terjadi sesuai dengan kondisi social budaya di wilayah yang bersangkutan.
o   Status dan peranan terjadi secara otomatis. Contoh : Umur, kepandaian, sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat, dan mungkin juga harta dalam batas-batas tertentu.
2.      Secara Sengaja
o   Pelapisan sosial yang dibentuk oleh suatu kelompok sosial/masyarakat dalam rangka mengejar tujuan tertentu.
o   Bertujuan untuk pengaturan interaksi sosial dengan berorientasi pada kepentingan bersama.
o   Diperlukan masyarakat agar mampu menyesuaikan diri dengan keperluan - keperluan yang nyata contoh : badan-badan resmi.
o   Menggalang keteraturan dalam suatu kelompok sosial ( masyarakat ) demi tercapainya tujuan bersama.

SISTEM STRATIFIKASI SOSIAL
a.       System kekastaan.
b.      Kelas social.
c.       System fodal.
d.      System apartheid.

SIFAT SISTEM PELAPISAN MASYARAKAT
a.       Sistem Pelapisan Sosial Tertutup (closed sosial stratificaton) : pelapisan sosial yang tidak memungkinkan warga masyarakat pindah dari lapisan yang satu ke lapisan yang lain dimana status sosial ditentukan sejak lahir. Kasta, feodal, rasial (kawin sekasta / endogami )contoh : degregation ( kulit putih dan hitam di Amerika) apartehid ( di Afrika Selatan ), patrilinial ( laki lebih dominan).
b.      Sistem Pelapisan Sosial Terbuka (open sosial stratification) pelapisan yang membuka kesempatan warganya untuk turun-naik antar lapisan berlaku dalam masyarakat modern.

UNSUR – UNSUR STRATIFIKASI SOSIAL
a.       Kedudukan ( Status )
Kedudukan berarti tempat seseorang dalam suatu pola atau kelompok social. Dengan demikian , seseorang dapat emiliki lebih dari satu status. Dalam masyarakat kedudukan dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Asceribed Status yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memerhatikan perbedaan seseorang karena kedudukan tersebut diperoleh berkat kelahiran.
2.      Achieved Status yaitu kedudukan yang dicapai seseorang dengan usaha sendiri.

b.      Peranan ( Role )
Peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan atau status. Seseorang dalam masyarakat bisa memiliki lebih dari satu peran dari pola pergaulan hidupnya.

FUNGSI STRATIFIKASI SOCIAL
a.       Kingsley Davis dan Wilbert Moore : Mendorong individu untuk menempati status – status social tertentu.
b.      Karl Mark dan Max Weber : Mendorong timbulnya konflik social akibat ketidak adilan social.
c.       Soerjono Soekanto : Memberikan fasilitas hidup tertentu ( life chance ) dan membentuk gaya tingkah laku hidup ( life style ) bagi masing – masing anggotanya.
 

BAB II
PERMASALAHAN
Stratifikasi Sosial Yang Terdapat Dalam Upacara Pemakaman ( Rambu Solo )
Tana Toraja

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki
Tana Toraja memiliki ritual pemakaman yang dianggap paling rumit di dunia. Upacara pemakaman itu disebut dengan Rambu Solo. Rambu Solo adalah sebuah acara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.Yang bikin rumit adalah bahwa upacara Rambu Solo memiliki sejumlah tingkatan, tergantung pada sastra sosial si mendiang dan keluarganya.
Dalam hal ini saya ingin membahas mengenai stratifikasi social atau pelapisan sosial yang ada pada proses pemakaman adat toraja yang bias di sebut dengan Rambu Solo’


BAB III
PEMBAHASAN
Setiap masyarakat atau manusia yang ada dan pernah ada dalam kehidupan dunia ini, menerima warisan kebudayaan itu biasanya berupa gagasan, idea atau nilai-nilai luhur dan benda-benda budaya. Warisan kebudayaan ini mungkin adalah bagian dari tradisi semesta yang memiliki corak dan etnis tertentu. Budaya merupakan identitas dan komunitas suatu daerah yang dibangun dari kesepakatan-kesepakatan sosial dalam kelompok masyarakat tertentu. Budaya dapat menggambarkan kepribadian suatu bangsa, sehingga budaya dapat menjadi ukuran bagi majunya suatu peradaban manusia. 
Konsep budaya menurut Marvin Harris (dalam Asep Rahmat: 2009) ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, seperti adat atau cara hidup masyarakat. Kebudayaan selalu menunjukkan adanya derajat menyangkut tingkatan hidup dan penghidupan manusia. Masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu sistem yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena tidak ada kebudayaan yang tidak bertumbuh kembang  dari suatu masyarakat. Sebaliknya, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan karena tanpa kebudayaan tidak mungkin masyarakat dapat bertahan hidup.
Kebudayaan merupakan hasil dari ide-ide dan gagasan-gagasan yang akhirnya mengakibatkan terjadinya aktifitas dan menghasilkan suatu karya (kebudayaan fisik) sehingga manusia pada hakikatnya disebut mahkluk sosial. Kebudayaan juga mencakup aturan, prinsip, dan ketentuan-ketentuan  kepercayaan yang terpelihara rapi yang diwariskan secara turun-temurun pada setiap generasi. Hal ini pun tampak dalam masyarakat Toraja, yang sejak dahulu dikenal sebagai masyarakat religius dan memiliki integritas tinggi dalam menjunjung tinggi budayanya.
 Menurut Suhamihardja dalam bukunya Adat istiadat dan kepercayaan Sulawesi-selatan, (1977:29) suku bangsa Toraja terkenal  sebagai suku yang masih memegang teguh adat. Setiap pekerjaan mesti dilaksanakan menurut adat, karena melanggar adat adalah suatu pantangan dan masyarakat memandang rendah terhadap perlakuan yang memandang rendah adat itu, apalagi dalam upacara kematian, upacara adat tidak boleh ditinggalkan. Pada umumnya upacara adat itu dilakukan dengan besar-besaran karena anggapan masyarakat Toraja apabila upacara itu diadakan semakin meriah, semakin banyak harta dikorbankan. Untuk itu, semakin baik dan gengsi sosial bagi orang yang bersangkutan akan semakin tinggi, status naik, dan terpuji dalam pandangan masyarakat. Kebanyakan yang melakukan hal itu adalah golongan-golongan bangsawan dan golongan menengah.
Dalam keseharian setiap masyarakat senatiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya. Kalau suatu masyarakat lebih menghargai kekayaan materiil daripada kehormatan misalnya, mereka yang lebih banyak mempunyai kekayaan materiil akan menempati kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihak-pihak lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat, yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal.
Sistem lapisan dalam masyarakat dikenal dengan social stratification. Pitirim A. Sorokin (Narwoko dan Bagong, 2006) mengemukakan bahwa sistem pelapisan dalam masyarakat mencakup ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup dengan teratur. Mereka yang memiliki barang atau sesuatu yang berharga dalam jumlah yang banyak akan menduduki lapisan atas dan sebaliknya mereka yang memiliki dalam jumlah yang relatif sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali akan dipandang mempunyai kedudukan yang rendah. Lebih lanjut Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah. Ukuran yang dipakai untuk menggolong anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan ilmu pengetahuan.
Pada masyarakat Toraja terdapat perbedaan status sosial yang berbeda-beda, mulai dari yang tinggi, sedang dan rendah. Stratifikasi tersebut dikenal dengan tingkatan berikut:
a.       Tana’ Bulaan/Toparenge yang merupakan kasta tertinggi. Pada umumnya golongan bangsawan ini memiliki peranan yang sangat penting dalam masyarakat karena mereka bertugas menciptakan aturan-aturan yang kemudian menjadi ketua pemerintahan adat tertinggi dalam masing-masing adat/kelompok adat, misalnya raja dan kaum bangsawan. Mereka juga menguasai tanah persawahan di Toraja.
b.      Tana’ Bassi/ Tomakaka. Tana’ bassi adalah bangsawan menengah yang sangat erat hubungannya dengan Tana’ Bulaan. Mereka adalah golongan bebas, mereka memiliki tanah persawahan tetapi tidak sebanyak yang dimiliki oleh kaum bangsawan, mereka ini adalah para tokoh masyarakat, orang-orang terpelajar, dan lain-lain.
c.       Tana’ Karurung/To. Kasta ini merupakan rakyat kebanyakan atau sering di sebut paktondokan. Golongan ini tidak mempunyai kuasa apa-apa tetapi menjadi tulang punggung bagi masyarakat toraja.
d.      Tana’ Kua-Kua/Kaunan. Golongan kasta ini merupakan pengabdi atau hamba bagi Tana’ Bulaan dengan tugas-tugas tertentu. Misalnya membungkus orang mati dan lain-lain, mereka sangat dipercaya oleh atasannya karena nenek moyang mereka telah bersumpah turun-temurun akan mengabdikan dirinya, akan tetapi atasannya juga mempunyai kewajiban untuk membantu mereka dalam kesulitan hidupnya. Golongan ini tidak boleh kawin dengan kelas yang lebih tinggi, seperti Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi.
Sesuai dengan ruang lingkup strata sosial yang mana mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, maka pada akhirnya masalah yang menarik untuk  dipelajari dan dibahas lebih jauh  ada hubungannya dengan upacara Rambu Solo’. Dalam hal budaya upacara Rambu solo’, Rambu solo’ bagi orang toraja merupakan budaya yang paling tinggi nilainya dibandingkan dengan unsur  budaya lainnya. Upacara Rambu solo’ diatur dalam Aluk Rampe Matampu  dan mempunyai sistem serta tahapan sendiri. Lebih banyak dinyatakan dalam upacara pemakaman dan kedukaan. Masyarakat Toraja dalam ajaran Todolo memberikan perhatian pada upacara pemakaman, karena upacara ini diyakini sangat istimewa serta mengandung  religi, kemampuan ekonomi, dan kelas sosial.
Dalam kehidupan sehari-harinya, setiap manusia mempunyai suatu pandangan yang berbeda-beda. Begitupula dengan masyarakat Toraja dalam melaksanakan upacara kematian. Bagi sebagian orang, tradisi ini bisa jadi dinilai sebagai pemborosan. Sebab, demikian besar biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraannya. Bahkan, ada yang sampai tertunda berbulan-bulan bahkan bertahun - tahun untuk mengumpulkan biaya pelaksanaan upacara ini, bahkan ungkapan bahwa orang toraja mencari kekayaan hanya untuk dihabiskan pada pesta rambu solo’. Pandangan lain pun sering muncul, bahwa sungguh berat acara ini dilaksanakan. Sebab, orang yang melaksanakannya harus mengeluarkan biaya besar untuk pesta. Bagi masyarakat Toraja, berbicara pemakaman bukan hanya tentang upacara, status, jumlah kerbau yang dipotong, tetapi juga soal malu (siri’), dan hal inilah yang menyebabkan upacara Rambu solo’ terkait dengan tingkat stratifikasi sosial.
Dulunya, pesta meriah hanya dilakukan oleh kalangan bangsawan dalam masyarakat ini. Akan tetapi, sekarang sudah mulai bergeser, siapa yang kaya itulah yang pestanya meriah. Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50 ekor babi. (George Aditjondro, 2010:40).
Dalam masyarakat Toraja stratifkasi sosial (tana’) dikenal dalam empat tingkatan:
Ø  Kelas bangsawan tinggi (tana’ bulaan).
Ø  Kelas bangsawan menengah (tana bassi).
Ø  Kelas orang-orang merdeka (tana karurung).
Ø  Kelas hamba sahaya (tana’ kua-kua)
Stratifikasi ini bersifat tertutup (closed social stratification) dan membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari lapisan lain ke kasta lain. Pembagian in dipelihara secara turun-temurun. 
      Meskipun demikian dalam masyrakat Toraja ada upacara penebusan (pemulihan) bagi seorang bangsawan yang oleh satu dan lain hal jatuh miskin dan menjadi hamba. Ia dapat saja memulihkan kedudukannya “aluk sanda saratu” (serta seratus) yaitu melakukan pesta (upacara) dengan pengorbanan serba seratus (kerbau seratus, babi seratus, ayam seratus, dan lain-lain). Jadi dalam masyrakat Toraja, pelaksanaan upacara Rambu Solo’ juga harus didasarkan pada tana’.  Ini berarti tingkatan upacara untuk tana’ kua kua, tidak boleh sama dengan upacara untuk tana karurung dan sebagainya, meskipun seorang mampu dari segi ekonomi. Dengan demikian upacara Rambu Solo’ mencermikan martabat atau harga diri dari suatu keluarga khsusnya golongan bangsawan. Dengan kata lain keberhasilan atau kemeriahan penyelenggaran upacara akan mempunyai nilai sosial yang tinggi dan sekaligus menambah gengsi suatu keluarga. Sebaliknya keluarga akan merasa sangat malu bilamana tidak dapat mengupacarakan orang mati mereka sebagaiman layaknya

BAB III
PENUTUP
·         Kesimpulan
Definisi stratifikasi sosial adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya pembedaan dan/atau pengelompokan suatu kelompok sosial (komunitas) secara bertingkat.
Dalam masyarakat Toraja stratifkasi sosial (tana’) dikenal dalam empat tingkatan:
-          Kelas bangsawan tinggi (tana’ bulaan)
-          Kelas bangsawan menengah (tana bassi)
-          Kelas orang-orang merdeka (tana karurung)
-          Kelas hamba sahaya (tana’ kua-kua)
Stratifikasi ini bersifat tertutup (closed social stratification) dan membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari lapisan lain ke kasta lain. Pembagian in dipelihara secara turun-temurun. 
      Meskipun demikian dalam masyrakat Toraja ada upacara penebusan (pemulihan) bagi seorang bangsawan yang oleh satu dan lain hal jatuh miskin dan menjadi hamba. Ia dapat saja memulihkan kedudukannya “aluk sanda saratu” (serta seratus) yaitu melakukan pesta (upacara) dengan pengorbanan serba seratus (kerbau seratus, babi seratus, ayam seratus, dan lain-lain). Jadi dalam masyrakat Toraja, pelaksanaan upacara Rambu Solo’ juga harus didasarkan pada tana’.  Ini berarti tingkatan upacara untuk tana’ kua kua, tidak boleh sama dengan upacara untuk tana karurung dan sebagainya, meskipun seorang mampu dari segi ekonomi. Dengan demikian upacara Rambu Solo’ mencermikan martabat atau harga diri dari suatu keluarga khsusnya golongan bangsawan. Dengan kata lain keberhasilan atau kemeriahan penyelenggaran upacara akan mempunyai nilai sosial yang tinggi dan sekaligus menambah gengsi suatu keluarga. Sebaliknya keluarga akan merasa sangat malu bilamana tidak dapat mengupacarakan orang mati mereka sebagaiman layaknya

·       
DAFTAR PUSTAKA

·         http://skripsi-ilmiah.blogspot.com
·          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar