STRATIFIKASI SOSIAL
BAB I
PENDAHULUAN
·
Latar Belakang
Individu sebagai makhluk sosial tentu tidak
bisa dihindarkan dengan interaksi sosial beserta bentuk-bentuk interaksi sosial
yang biasa berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Implikasi panjang dari sifat
sosial manusia tersebut adalah ketergantungan individu kepada situasi
lingkungan tempat ia tinggal, dan situasi inilah nanti yang akan memengaruhi
pembentukan sebuah kelompok.
Lingkungan mencakup
segala hal disekeliling kita dimana kita terkait kepadanya secara langsung atau
tidak langsung yang hidup dan kegiatan kita yng berhubungan dengan dan
bergantung padanya. Dan dapat juga dikatakan bahwa lingkungan adalah
keseluruhan factor kakas ( force), atau keadaaan yang mempengaruhi atau
berperantas hidup daqn kehidupan.
Tentunya, gejala-gejala sosial dalam masyarakat akan menimbulkan suatu dinamika
baik yang bersifat asosiatif maupun disosiatif. Lain hal, dinamika dalam sebuah
masyarakat ternyata tidak terbatas pada apa-apa yang bersifat asosiatif maupun
disosiatif. Ada satu hal penting dalam masyarakat yang kadangkala tidak
disadari keberadaannya, yakni pembagian atau pelapisan dalam masyarakat itu
sendiri. Akan tetapi keberadaan kita di tengah situasi ke-modern-an ternyata
tidak bisa digunakan sebagai alasan untuk mengatakan bahwa “semua masyarakat
memiliki pelapisan sosial”. Paul B. Horton dalam bukunya, Sosiologi Jilid 2,
menyatakan bahwa dalam masyarakat yang paling sederhana tidak memiliki adanya
pelapisan –atau lebih jamak disebut stratifikasi- sosial. Semua orang yang
berusia dan berjenis kelamin sama melakukan pekerjaan yang juga kurang lebih
sama. Beberapa orang bisa saja mendapatkan penghormatan karena pengaruhnya yang
lebih besar ketimbang orang lain, namun tidak terdapat kelompok atau kategori
orang yang menduduki jabatan yang lebih memiliki prestise atau hak-hak istimewa
daripada kelompok yang lain (Horton, Paul B., Chester L. Hunt, 1999:1).
·
Landasn
Teori
Definisi stratifikasi sosial adalah sebuah konsep yang menunjukkan
adanya pembedaan dan/atau pengelompokan suatu kelompok sosial (komunitas)
secara bertingkat. Misalnya: dalam komunitas tersebut ada strata tinggi, strata
sedang dan strata rendah. Pembedaan dan/atau pengelompokan ini didasarkan pada
adanya suatu simbol -simbol tertentu yang dianggap berharga atau bernilai —
baik berharga atau bernilai secara sosial , ekonomi, politik, hukum, budaya
maupun dimensi lainnya — dalam suatu kelompok sosial (komunitas). Simbol
-simbol tersebut misalnya, kekayaan, pendidikan, jabatan, kesalehan dalam
beragama, dan pekerjaan. Dengan kata lain, selama dalam suatu kelompok sosia l
(komunitas) ada sesuatu yang dianggap berharga atau bernilai, dan dalam suatu
kelompok sosial (komunitas) pasti ada sesuatu yang dianggap berharga atau
bernilai, maka selama itu pula akan ada stratifikasi sosial dalam kelompok
sosial (komunitas) tersebut. Secara sosiologis --jika dilacak ke belakang--
konsep stratifikasi sosial memang kalah populer dengan istilah kelas sosial,
dimana istilah kelas sosial pada awalnya menurut Ralf Dahrendorf (1986), diperkenalkan pertama kali oleh
penguasa Romawi Kuno. Pada waktu itu, istilah kelas sosial digunakan dalam
konteks penggolongan masyarakat terhadap para pembayar pajak. Ketika itu ada
dua masyarakat, yaitu masyarakat golongan kaya dan miskin.
Dalam studi-studi sosiologi kontemporer, istilah status sosial
dikaitkan dengan istilah peran (role), di mana kedua istilah tersebut memiliki
hubungan yang bersifat ko-eksistensial (Beteille,1977). Misalnya, jika ada
status sosial tentu akan ada peran sosial, semakin tinggi status social semakin
banyak peran sosialnya, atau semakin tinggi status sosial semakin sedikit peran
sosialnya. Perbedaan secara tegas antara kelas sosial dan status sosial antara
lain dikemukakan Max Weber dengan
mengaju-kan konsep tentang kelas sosial, status sosial dan partai. Menurut Weber, kelas sosial merupakan
stratifikasi sosial yang berkaitan dengan hubungan produksi dan penguasaaan
kekayaan. Sedangkan status sosial merupakan manifestasi dari stratifikasi social
yang berkaitan dengan prinsip yang dianut oleh komunitas dalam mengkonsumsi
kekayaannya atau gaya hidupnya. Partai merupakan perkumpulan sosial yang
berorientasi penggunaan kekuasaan untuk mempenga-ruhi suatu tindakan sosial
tertentu.
PROSES TERBENTUKNYA
1.
Secara Tidak
Sengaja:
o
terbentuk sejalan dg perkembangan masyarakat.
o
Terbentuk
diluar kontrol masyarakat.
o
Terjadi sesuai
dengan kondisi social
budaya di wilayah yang bersangkutan.
o
Status dan peranan
terjadi secara otomatis.
Contoh : Umur,
kepandaian, sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat, dan
mungkin juga harta dalam batas-batas tertentu.
2.
Secara Sengaja
o
Pelapisan
sosial yang dibentuk oleh
suatu kelompok sosial/masyarakat dalam rangka mengejar
tujuan tertentu.
o
Bertujuan untuk pengaturan interaksi sosial dengan
berorientasi pada kepentingan bersama.
o
Diperlukan masyarakat agar mampu menyesuaikan
diri dengan keperluan
- keperluan yang nyata contoh
: badan-badan resmi.
o
Menggalang
keteraturan dalam suatu kelompok sosial ( masyarakat ) demi tercapainya tujuan
bersama.
SISTEM
STRATIFIKASI SOSIAL
a.
System kekastaan.
b.
Kelas social.
c.
System fodal.
d.
System apartheid.
SIFAT SISTEM PELAPISAN
MASYARAKAT
a.
Sistem Pelapisan Sosial Tertutup (closed sosial stratificaton) :
pelapisan sosial yang tidak memungkinkan warga masyarakat pindah dari lapisan
yang satu ke lapisan yang lain dimana status sosial ditentukan sejak lahir.
Kasta, feodal, rasial (kawin sekasta / endogami )contoh : degregation ( kulit
putih dan hitam di Amerika) apartehid ( di Afrika Selatan ), patrilinial ( laki lebih dominan).
b.
Sistem Pelapisan Sosial Terbuka (open sosial stratification) pelapisan
yang membuka kesempatan warganya untuk turun-naik antar lapisan berlaku dalam masyarakat
modern.
UNSUR – UNSUR STRATIFIKASI SOSIAL
a.
Kedudukan ( Status )
Kedudukan berarti tempat seseorang dalam suatu
pola atau kelompok social. Dengan demikian , seseorang dapat emiliki lebih dari
satu status. Dalam masyarakat kedudukan dibagi menjadi dua, yaitu:
1.
Asceribed Status yaitu kedudukan seseorang
dalam masyarakat tanpa memerhatikan perbedaan seseorang karena kedudukan
tersebut diperoleh berkat kelahiran.
2.
Achieved Status yaitu kedudukan yang dicapai
seseorang dengan usaha sendiri.
b.
Peranan ( Role )
Peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan
atau status. Seseorang dalam masyarakat bisa memiliki lebih dari satu peran
dari pola pergaulan hidupnya.
FUNGSI STRATIFIKASI SOCIAL
a.
Kingsley Davis dan Wilbert Moore : Mendorong individu
untuk menempati status – status social tertentu.
b.
Karl Mark dan Max Weber : Mendorong timbulnya
konflik social akibat ketidak adilan social.
c.
Soerjono Soekanto : Memberikan fasilitas hidup
tertentu ( life chance ) dan membentuk gaya tingkah laku hidup ( life style )
bagi masing – masing anggotanya.
BAB II
PERMASALAHAN
Stratifikasi Sosial Yang Terdapat Dalam Upacara Pemakaman ( Rambu
Solo )
Tana Toraja
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya
diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana
Toraja, Kabupaten
Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.
Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara
sebagian menganut Islam dan
kepercayaan animisme yang dikenal
sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan
ini sebagai bagian dari Agama Hindu
Dharma. Suku Toraja adalah suku yang
menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya
diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana
Toraja, Kabupaten
Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas
suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara
sebagian menganut Islam dan
kepercayaan animisme yang dikenal
sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan
ini sebagai bagian dari Agama Hindu
Dharma.
Dalam
masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas
sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan,
orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909). Kelas sosial
diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas
yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang
lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya.
Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan
hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan,
yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan,
sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu
yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat
tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja
tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk
menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan
perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan,
ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang,
seperti pernikahan
atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang
dimiliki
Tana Toraja
memiliki ritual pemakaman yang dianggap paling rumit di dunia. Upacara
pemakaman itu disebut dengan Rambu Solo. Rambu Solo adalah sebuah acara
pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga almarhum membuat sebuah pesta
sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.Yang bikin
rumit adalah bahwa upacara Rambu Solo memiliki sejumlah tingkatan, tergantung
pada sastra sosial si mendiang dan keluarganya.
Dalam hal ini
saya ingin membahas mengenai stratifikasi social atau pelapisan sosial yang ada
pada proses pemakaman adat toraja yang bias di sebut dengan Rambu Solo’
BAB III
PEMBAHASAN
Setiap masyarakat atau manusia yang ada dan
pernah ada dalam kehidupan dunia ini, menerima warisan kebudayaan itu biasanya
berupa gagasan, idea atau nilai-nilai luhur dan benda-benda budaya. Warisan
kebudayaan ini mungkin adalah bagian dari tradisi semesta yang memiliki corak
dan etnis tertentu. Budaya merupakan identitas dan komunitas suatu daerah yang
dibangun dari kesepakatan-kesepakatan sosial dalam kelompok masyarakat
tertentu. Budaya dapat menggambarkan kepribadian suatu bangsa, sehingga budaya
dapat menjadi ukuran bagi majunya suatu peradaban manusia.
Konsep budaya menurut Marvin Harris
(dalam Asep Rahmat: 2009) ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang
dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, seperti adat atau cara
hidup masyarakat. Kebudayaan selalu menunjukkan adanya derajat menyangkut
tingkatan hidup dan penghidupan manusia. Masyarakat dan kebudayaan merupakan
suatu sistem yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena tidak
ada kebudayaan yang tidak bertumbuh kembang dari suatu masyarakat.
Sebaliknya, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan karena tanpa
kebudayaan tidak mungkin masyarakat dapat bertahan hidup.
Kebudayaan
merupakan hasil dari ide-ide dan gagasan-gagasan yang akhirnya mengakibatkan
terjadinya aktifitas dan menghasilkan suatu karya (kebudayaan fisik) sehingga
manusia pada hakikatnya disebut mahkluk sosial. Kebudayaan juga mencakup
aturan, prinsip, dan ketentuan-ketentuan kepercayaan yang terpelihara
rapi yang diwariskan secara turun-temurun pada setiap generasi. Hal ini pun
tampak dalam masyarakat Toraja, yang sejak dahulu dikenal sebagai masyarakat
religius dan memiliki integritas tinggi dalam menjunjung tinggi budayanya.
Menurut Suhamihardja dalam
bukunya Adat istiadat dan kepercayaan Sulawesi-selatan, (1977:29) suku
bangsa Toraja terkenal sebagai suku yang masih memegang teguh adat.
Setiap pekerjaan mesti dilaksanakan menurut adat, karena melanggar adat adalah suatu
pantangan dan masyarakat memandang rendah terhadap perlakuan yang memandang
rendah adat itu, apalagi dalam upacara kematian, upacara adat tidak boleh
ditinggalkan. Pada umumnya upacara adat itu dilakukan dengan besar-besaran
karena anggapan masyarakat Toraja apabila upacara itu diadakan semakin meriah,
semakin banyak harta dikorbankan. Untuk itu, semakin baik dan gengsi sosial
bagi orang yang bersangkutan akan semakin tinggi, status naik, dan terpuji
dalam pandangan masyarakat. Kebanyakan yang melakukan hal itu adalah
golongan-golongan bangsawan dan golongan menengah.
Dalam keseharian setiap masyarakat senatiasa
mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang
bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan
menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya.
Kalau suatu masyarakat lebih menghargai kekayaan materiil daripada kehormatan
misalnya, mereka yang lebih banyak mempunyai kekayaan materiil akan menempati
kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihak-pihak lain.
Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat, yang merupakan pembedaan posisi
seseorang atau kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal.
Sistem lapisan dalam masyarakat dikenal dengan social
stratification. Pitirim A. Sorokin (Narwoko dan Bagong, 2006)
mengemukakan bahwa sistem pelapisan dalam masyarakat mencakup ciri yang tetap
dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup dengan teratur. Mereka yang
memiliki barang atau sesuatu yang berharga dalam jumlah yang banyak akan
menduduki lapisan atas dan sebaliknya mereka yang memiliki dalam jumlah yang
relatif sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali akan dipandang mempunyai
kedudukan yang rendah. Lebih lanjut Pitirim A. Sorokin
menyatakan bahwa stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat
ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi
dan kelas-kelas yang lebih rendah. Ukuran yang dipakai untuk menggolong
anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah kekayaan, kekuasaan,
kehormatan, dan ilmu pengetahuan.
Pada masyarakat Toraja terdapat perbedaan
status sosial yang berbeda-beda, mulai dari yang tinggi, sedang dan rendah.
Stratifikasi tersebut dikenal dengan tingkatan berikut:
a.
Tana’ Bulaan/Toparenge yang merupakan
kasta tertinggi. Pada umumnya golongan bangsawan ini memiliki peranan yang
sangat penting dalam masyarakat karena mereka bertugas menciptakan
aturan-aturan yang kemudian menjadi ketua pemerintahan adat tertinggi dalam
masing-masing adat/kelompok adat, misalnya raja dan kaum bangsawan. Mereka juga
menguasai tanah persawahan di Toraja.
b.
Tana’ Bassi/ Tomakaka. Tana’
bassi adalah bangsawan menengah yang sangat erat hubungannya dengan Tana’
Bulaan. Mereka adalah golongan bebas, mereka memiliki tanah persawahan tetapi
tidak sebanyak yang dimiliki oleh kaum bangsawan, mereka ini adalah para tokoh
masyarakat, orang-orang terpelajar, dan lain-lain.
c.
Tana’ Karurung/To. Kasta ini
merupakan rakyat kebanyakan atau sering di sebut paktondokan. Golongan
ini tidak mempunyai kuasa apa-apa tetapi menjadi tulang punggung bagi
masyarakat toraja.
d.
Tana’ Kua-Kua/Kaunan. Golongan
kasta ini merupakan pengabdi atau hamba bagi Tana’ Bulaan dengan
tugas-tugas tertentu. Misalnya membungkus orang mati dan lain-lain, mereka
sangat dipercaya oleh atasannya karena nenek moyang mereka telah bersumpah
turun-temurun akan mengabdikan dirinya, akan tetapi atasannya juga mempunyai
kewajiban untuk membantu mereka dalam kesulitan hidupnya. Golongan ini tidak
boleh kawin dengan kelas yang lebih tinggi, seperti Tana’ Bulaan dan Tana’
Bassi.
Sesuai dengan ruang lingkup strata sosial yang
mana mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, maka pada akhirnya masalah
yang menarik untuk dipelajari dan dibahas lebih jauh ada
hubungannya dengan upacara Rambu Solo’. Dalam hal budaya upacara Rambu solo’,
Rambu solo’ bagi orang toraja merupakan budaya yang paling tinggi nilainya
dibandingkan dengan unsur budaya lainnya. Upacara Rambu solo’ diatur
dalam Aluk Rampe Matampu dan mempunyai sistem serta tahapan
sendiri. Lebih banyak dinyatakan dalam upacara pemakaman dan kedukaan.
Masyarakat Toraja dalam ajaran Todolo memberikan perhatian pada upacara
pemakaman, karena upacara ini diyakini sangat istimewa serta mengandung religi, kemampuan ekonomi, dan kelas sosial.
Dalam kehidupan sehari-harinya, setiap manusia
mempunyai suatu pandangan yang berbeda-beda. Begitupula dengan masyarakat
Toraja dalam melaksanakan upacara kematian. Bagi sebagian orang, tradisi ini
bisa jadi dinilai sebagai pemborosan. Sebab, demikian besar biaya yang harus
dikeluarkan untuk penyelenggaraannya. Bahkan, ada yang sampai tertunda
berbulan-bulan bahkan bertahun - tahun untuk mengumpulkan biaya pelaksanaan
upacara ini, bahkan ungkapan bahwa orang toraja mencari kekayaan hanya untuk
dihabiskan pada pesta rambu solo’. Pandangan lain pun sering muncul, bahwa
sungguh berat acara ini dilaksanakan. Sebab, orang yang melaksanakannya harus
mengeluarkan biaya besar untuk pesta. Bagi masyarakat Toraja, berbicara
pemakaman bukan hanya tentang upacara, status, jumlah kerbau yang dipotong,
tetapi juga soal malu (siri’), dan hal inilah yang menyebabkan upacara Rambu
solo’ terkait dengan tingkat stratifikasi sosial.
Dulunya, pesta meriah hanya dilakukan oleh
kalangan bangsawan dalam masyarakat ini. Akan tetapi, sekarang sudah mulai
bergeser, siapa yang kaya itulah yang pestanya meriah. Kemeriahan upacara Rambu
Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah
hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status
sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih
berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor
kerbau ditambah 50 ekor babi. (George Aditjondro, 2010:40).
Dalam
masyarakat Toraja stratifkasi sosial (tana’) dikenal dalam empat tingkatan:
Ø Kelas bangsawan tinggi (tana’ bulaan).
Ø Kelas bangsawan menengah (tana bassi).
Ø Kelas orang-orang merdeka (tana karurung).
Ø Kelas hamba sahaya (tana’ kua-kua)
Stratifikasi ini bersifat tertutup
(closed social stratification) dan membatasi kemungkinan pindahnya seseorang
dari lapisan lain ke kasta lain. Pembagian in dipelihara secara
turun-temurun.
Meskipun
demikian dalam masyrakat Toraja ada upacara penebusan (pemulihan) bagi seorang
bangsawan yang oleh satu dan lain hal jatuh miskin dan menjadi hamba. Ia dapat
saja memulihkan kedudukannya “aluk sanda saratu” (serta seratus) yaitu
melakukan pesta (upacara) dengan pengorbanan serba seratus (kerbau seratus,
babi seratus, ayam seratus, dan lain-lain). Jadi dalam masyrakat Toraja,
pelaksanaan upacara Rambu Solo’ juga harus didasarkan pada tana’.
Ini berarti tingkatan upacara untuk tana’ kua kua, tidak boleh sama dengan
upacara untuk tana karurung dan sebagainya, meskipun seorang mampu dari segi
ekonomi. Dengan demikian upacara Rambu Solo’ mencermikan martabat atau
harga diri dari suatu keluarga khsusnya golongan bangsawan. Dengan kata lain
keberhasilan atau kemeriahan penyelenggaran upacara akan mempunyai nilai sosial
yang tinggi dan sekaligus menambah gengsi suatu keluarga. Sebaliknya keluarga
akan merasa sangat malu bilamana tidak dapat mengupacarakan orang mati mereka
sebagaiman layaknya
BAB III
PENUTUP
·
Kesimpulan
Definisi
stratifikasi sosial adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya pembedaan
dan/atau pengelompokan suatu kelompok sosial (komunitas) secara bertingkat.
Dalam masyarakat Toraja stratifkasi
sosial (tana’) dikenal dalam empat tingkatan:
-
Kelas bangsawan
tinggi (tana’ bulaan)
-
Kelas bangsawan
menengah (tana bassi)
-
Kelas
orang-orang merdeka (tana karurung)
-
Kelas hamba
sahaya (tana’ kua-kua)
Stratifikasi ini bersifat tertutup
(closed social stratification) dan membatasi kemungkinan pindahnya seseorang
dari lapisan lain ke kasta lain. Pembagian in dipelihara secara
turun-temurun.
Meskipun
demikian dalam masyrakat Toraja ada upacara penebusan (pemulihan) bagi seorang
bangsawan yang oleh satu dan lain hal jatuh miskin dan menjadi hamba. Ia dapat
saja memulihkan kedudukannya “aluk sanda saratu” (serta seratus) yaitu
melakukan pesta (upacara) dengan pengorbanan serba seratus (kerbau seratus,
babi seratus, ayam seratus, dan lain-lain). Jadi dalam masyrakat Toraja,
pelaksanaan upacara Rambu Solo’ juga harus didasarkan pada tana’.
Ini berarti tingkatan upacara untuk tana’ kua kua, tidak boleh sama dengan
upacara untuk tana karurung dan sebagainya, meskipun seorang mampu dari segi
ekonomi. Dengan demikian upacara Rambu Solo’ mencermikan martabat atau
harga diri dari suatu keluarga khsusnya golongan bangsawan. Dengan kata lain
keberhasilan atau kemeriahan penyelenggaran upacara akan mempunyai nilai sosial
yang tinggi dan sekaligus menambah gengsi suatu keluarga. Sebaliknya keluarga
akan merasa sangat malu bilamana tidak dapat mengupacarakan orang mati mereka
sebagaiman layaknya
·
DAFTAR PUSTAKA
·
http://skripsi-ilmiah.blogspot.com
·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar